Disanalah aku saat itu, duduk di kursi penumpang beratapkan besi.
Mencoba mengabaikan suara dari speaker
besar di sampingku. Suara yang menderu kencang, seakan tak pernah lelah
melakukan apa yang dikehendaki supir. Aku melihat ke luar jendela. Seperti biasa,
angkutan umum lain, pejalan
kaki, mobil-mobil, dan motor-motor
lalu lalang, berlomba sampai ke tempat tujuan. Kuamati setiap hal yang lewat, bagaimana roda-roda kendaraan
mereka berputar, bagaimana kaki
orang-orang bergerak. Aneh pikirku. Setelah beberapa saat, mataku mulai lelah
memandangi luar jendela. Kualihkan pandangan ke buku yang kugenggam. Aku
membuka lembaran-lembaran buku secara perlahan seraya berpikir kapan angkotnya jalan ya. Sudah sekitar
sepuluh menit, angkutan umum yang kutumpangi belum juga beranjak dari
tempatnya. Menunggu seseorang yang mau menaikinya. Menunggu sesuatu yang tidak
pasti. Aku tidak masalah dengan menunggu. Banyak hal baik yang dapat kulakukan
sembari menunggu, namun menunggu yang tidak pasti. Untuk apa? Hidup ini pun hakikatnya adalah
menunggu, menunggu waktu sholat, ataupun menunggu hal lain yang pasti;
kematian. Menunggu waktu perjumpaan kita dengan Rabb ‘azza wa jala. Waktu
menunggu itulah yang dapat dipakai untuk mengumpulkan perbekalan, apa saja yang
harus dilakukan.
Mataku mulai terfokus pada buku di tanganku. Saat kumulai
untuk membaca, mobil yang kunaiki berderu dan mulai beranjak perlahan. Kuucap
syukur dan lanjut membaca. Saat mataku mulai sakit dan kepalaku pusing, kututup
bukuku dan kumasukkan ke dalam tas. Aku pun kembali melihat ke luar jendela.
Langit cerah dengan warna birunya dengan cepat mengobati mataku yang sakit.
Kupandangi awan-awan yang berbentuk aneh. Entah mengapa awan-awan itu mirip
denganku. Bukan bentuknya, namun caranya bergerak mirip denganku. Awan bergerak
berdasarkan angin. Ke arah manapun angin bertiup, maka awan akan bersama angin.
Sama sepertiku, kemanapun Sang Pengatur angin menginginkan aku disana, aku akan
berusaha untuk berada disana. Apapun yang Sang Pengatur angin inginkan, aku akan
coba mengikuti. Walau sulit. Namun berbeda dengan awan yang tak memiliki
penghalang, aku memiliki penghalang, syubhat
dan syahwat. Aku memiliki hawa nafsu,
tapi tidak pada awan. Aku memiliki akal, tapi tidak pada awan. Terkadang itu
membuatku iri. Namun melihat lagi kenyataan bahwa aku memiliki hati, tapi tidak
pada awan, dan aku memiliki perasaan, tapi tidak pada awan, itu yang membuatku
bersyukur. Entah mengapa aku merasa lega. Tak ada lagi yang harus dicemburui.
Setelah puas memandangi awan, kualihkan pandanganku pada
jalanan. Banyak pemandangan yang membuat hatiku tenang dan aku pun tersenyum
secara tak sadar. Dari anak-anak kecil yang sedang berlarian sembari tersenyum
lebar, sampai seorang lelaki paruh baya dengan kopiah lusuh yang terus
mendorong gerobak dagangannya. Semua hal kecil seperti itu membuatku bahagia.
Anak-anak kecil itu mengingatkanku pada masa kecil yang sangat menyenangkan dan
menyegarkan. Penuh kasing sayang dan balutan ilmu dari kedua orangtua. Semoga
anak-anak itu dapat tumbuh menjadi orang-orang yang shalih, yang mengantarkan
ibu bapak mereka ke dalam jannah. Lelaki
tua itu juga membuatku berpikir bahwa setiap langkah yang dia tempuh dengan
jerih payah untuk mencari rezeki yang halal, mungkin itu yang dapat
mengantarkannya menuju jannah. Semoga
Allaah meringankan bebannya dan meringankan hisabnya.
Masih banyak hal
lainnya yang kutemui di jalanan saat itu. Aku pun melihat seorang wanita yang
tetap dengan cadarnya, berjualan di pinggir jalan. Atau laki-laki tua dengan
jenggot serta celana tak isbalnya. Mereka menyadarkanku bahwa tidak ada
penghalang yang amat berarti untuk menaati Allaah dan Rasul-Nya.
Penghalang-penghalang tersebut hanyalah alasan-alasan banyak orang yang enggan
menaati perintah Allaah dan Rasul-Nya. Kalau mereka saja bisa, kenapa kita
tidak? Akupun merasa malu. Aku tak perlu bekerja seperti mereka karena kedua
orangtuaku masih mengurusku. Aku tak perlu mencari uang seperti mereka. Yang
kuperlukan hanya belajar dan belajar, namun terkadang rasa malas sering menghampiri
dan terkadang pula sangat susah untuk dibendung. Dan kini Allaah menyadarkanku
lewat perantara mereka. Aku sadar bahwa orangtuaku dengan susah payah membiayai
hidupku, pakaianku, pendidikanku, semua keperluanku. Namun apa yang sudah
kulakukan untuk mereka? Belum ada sama sekali. Maka tidak boleh ada lagi kata
malas. Ketika rasa itu muncul, lawan saja, sebesar apapun itu, tetaplah lawan.
Semoga Allaah melindungi orangtua kita dan meringankan hisab mereka.
Perjalananku di hari itupun hampir berakhir tanpa terasa.
Aku harus menuruni angkutan umum yang kutumpangi dan melanjutkan perjalanan
dengan menaiki angkutan umum lain. Perjalanan pulang dari kampus menuju
rumah pun terasa amat menyenangkan dengan adanya teguran-teguran tak langsung
yang kutemui di sepanjang perjalanan. Aku pun teringat nasehat Rasulullaah
shallallaahu ‘alaihi wassallam bahwa barangsiapa yang tidak mensyukuri yang
sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri yang banyak.
Semoga kisah 713 kata di atas dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Wallaahu’alam bishawab.
Lampung Selatan, 2 Rabi
al-Thani 1437
Ibnatu Arifin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar