Selasa, 12 Januari 2016

AWAN



Disanalah aku saat itu, duduk di kursi penumpang beratapkan besi. Mencoba mengabaikan suara dari speaker besar di sampingku. Suara yang menderu kencang, seakan tak pernah lelah melakukan apa yang dikehendaki supir. Aku melihat ke luar jendela. Seperti biasa, angkutan umum lain, pejalan kaki, mobil-mobil, dan motor-motor lalu lalang, berlomba sampai ke tempat tujuan. Kuamati setiap hal yang lewat, bagaimana roda-roda kendaraan mereka berputar, bagaimana kaki orang-orang bergerak. Aneh pikirku. Setelah beberapa saat, mataku mulai lelah memandangi luar jendela. Kualihkan pandangan ke buku yang kugenggam. Aku membuka lembaran-lembaran buku secara perlahan seraya berpikir kapan angkotnya jalan ya. Sudah sekitar sepuluh menit, angkutan umum yang kutumpangi belum juga beranjak dari tempatnya. Menunggu seseorang yang mau menaikinya. Menunggu sesuatu yang tidak pasti. Aku tidak masalah dengan menunggu. Banyak hal baik yang dapat kulakukan sembari menunggu, namun menunggu yang tidak pasti. Untuk apa? Hidup ini pun hakikatnya adalah menunggu, menunggu waktu sholat, ataupun menunggu hal lain yang pasti; kematian. Menunggu waktu perjumpaan kita dengan Rabb ‘azza wa jala. Waktu menunggu itulah yang dapat dipakai untuk mengumpulkan perbekalan, apa saja yang harus dilakukan.


Mataku mulai terfokus pada buku di tanganku. Saat kumulai untuk membaca, mobil yang kunaiki berderu dan mulai beranjak perlahan. Kuucap syukur dan lanjut membaca. Saat mataku mulai sakit dan kepalaku pusing, kututup bukuku dan kumasukkan ke dalam tas. Aku pun kembali melihat ke luar jendela. Langit cerah dengan warna birunya dengan cepat mengobati mataku yang sakit. Kupandangi awan-awan yang berbentuk aneh. Entah mengapa awan-awan itu mirip denganku. Bukan bentuknya, namun caranya bergerak mirip denganku. Awan bergerak berdasarkan angin. Ke arah manapun angin bertiup, maka awan akan bersama angin. Sama sepertiku, kemanapun Sang Pengatur angin menginginkan aku disana, aku akan berusaha untuk berada disana. Apapun yang Sang Pengatur angin inginkan, aku akan coba mengikuti. Walau sulit. Namun berbeda dengan awan yang tak memiliki penghalang, aku memiliki penghalang, syubhat dan syahwat. Aku memiliki hawa nafsu, tapi tidak pada awan. Aku memiliki akal, tapi tidak pada awan. Terkadang itu membuatku iri. Namun melihat lagi kenyataan bahwa aku memiliki hati, tapi tidak pada awan, dan aku memiliki perasaan, tapi tidak pada awan, itu yang membuatku bersyukur. Entah mengapa aku merasa lega. Tak ada lagi yang harus dicemburui.


Setelah puas memandangi awan, kualihkan pandanganku pada jalanan. Banyak pemandangan yang membuat hatiku tenang dan aku pun tersenyum secara tak sadar. Dari anak-anak kecil yang sedang berlarian sembari tersenyum lebar, sampai seorang lelaki paruh baya dengan kopiah lusuh yang terus mendorong gerobak dagangannya. Semua hal kecil seperti itu membuatku bahagia. Anak-anak kecil itu mengingatkanku pada masa kecil yang sangat menyenangkan dan menyegarkan. Penuh kasing sayang dan balutan ilmu dari kedua orangtua. Semoga anak-anak itu dapat tumbuh menjadi orang-orang yang shalih, yang mengantarkan ibu bapak mereka ke dalam jannah. Lelaki tua itu juga membuatku berpikir bahwa setiap langkah yang dia tempuh dengan jerih payah untuk mencari rezeki yang halal, mungkin itu yang dapat mengantarkannya menuju jannah. Semoga Allaah meringankan bebannya dan meringankan hisabnya.

Masih banyak hal lainnya yang kutemui di jalanan saat itu. Aku pun melihat seorang wanita yang tetap dengan cadarnya, berjualan di pinggir jalan. Atau laki-laki tua dengan jenggot serta celana tak isbalnya. Mereka menyadarkanku bahwa tidak ada penghalang yang amat berarti untuk menaati Allaah dan Rasul-Nya. Penghalang-penghalang tersebut hanyalah alasan-alasan banyak orang yang enggan menaati perintah Allaah dan Rasul-Nya. Kalau mereka saja bisa, kenapa kita tidak? Akupun merasa malu. Aku tak perlu bekerja seperti mereka karena kedua orangtuaku masih mengurusku. Aku tak perlu mencari uang seperti mereka. Yang kuperlukan hanya belajar dan belajar, namun terkadang rasa malas sering menghampiri dan terkadang pula sangat susah untuk dibendung. Dan kini Allaah menyadarkanku lewat perantara mereka. Aku sadar bahwa orangtuaku dengan susah payah membiayai hidupku, pakaianku, pendidikanku, semua keperluanku. Namun apa yang sudah kulakukan untuk mereka? Belum ada sama sekali. Maka tidak boleh ada lagi kata malas. Ketika rasa itu muncul, lawan saja, sebesar apapun itu, tetaplah lawan. Semoga Allaah melindungi orangtua kita dan meringankan hisab mereka.


Perjalananku di hari itupun hampir berakhir tanpa terasa. Aku harus menuruni angkutan umum yang kutumpangi dan melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan umum lain. Perjalanan pulang dari kampus menuju rumah pun terasa amat menyenangkan dengan adanya teguran-teguran tak langsung yang kutemui di sepanjang perjalanan. Aku pun teringat nasehat Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wassallam bahwa barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri yang banyak.


Semoga kisah 713 kata di atas dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Wallaahu’alam bishawab.



Lampung Selatan, 2 Rabi al-Thani 1437




Ibnatu Arifin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar