Rabu, 18 Desember 2013

Keinginan Untuk Terlupakan


Di hari itu, iya hari itu.
Banyak senyum kebahagiaan yang melekat pada bibir mereka. Entah itu benar bahagia atau hanyalah menutupi rasa sesal. Tidak sedikit pula mereka yang murung. Entah seberat apa beban yang mereka bawa. Ya, aku masih disana. Tenggelam dalam kebersamaan yang tidak akan bertahan lama. Sebentar lagi kami akan berpencar, berpisah. Seperti tukik-tukik kecil yang kembali ke habitat aslinya setelah beberapa minggu di penangkaran. Mau ditutupi ataupun tidak, itu adalah kenyataan. Kenyataan yang pahit. Kita pun hidup di dunia ini tidak lebih dari satu setengah jam. Namun mengapa masih banyak manusia yang lalai. Ya tidak lain dan tidak bukan karena kurangnya pengendalian diri.

Di pagi itu, iya pagi itu.
Kami sampai di tempat tujuan. Tempat favoritku, alam terbuka. Dapat kurasakan udara segar mengalir membersihkan paru-paruku yang selama ini mengirup udara sesak kota. Mataku pun berbinar melihat rimbunnya pohon-pohon hutan. Telingaku menangkap aliran deras air sungai. Suara alam memanggil jiwa-jiwa kami. Di pagi itu, aktivitas-aktivitas pelepas penat kami lakukan. Senyum, canda, tawa, mewarnai pagi itu. Aku memonopoli satu-satunya kamera yang dibawa temanku. Bukan karena egois ingin difoto ataupun yang lainnya. Namun, aku hanya mewanti-wanti agar diriku tidak terkena foto. Bukannya tak suka difoto, aku hanya tidak mau tiba-tiba wajahku mampang di tempat yang aku tidak tahu. Aku terlalu takut dengan 'ain yang ditimbulkan oleh mata-mata yang hasad.

Di tempat itu, iya tempat itu.
Matahari sudah di atas kepala. Jam pun menunjukkan waktu sholat Dzuhur. Kami bergantian untuk sholat. Laki-laki yang sholat terlebih dahulu, baru wanita. Terdapat surau kecil di seberang bendungan. Perlu melewati jembatan untuk mencapainya. Dari kejauhan aku bisa mendengar suara adzan yang dilantunkan salah seorang dari temanku. Aku berjalan melewati jembatan tepat di belakang gerombolan para wanita. Mereka berbelok ke kiri dan duduk di depan surau, sementara aku mengambil arah kanan seorang diri. Mencari tempat berteduh dan bersembunyi dari kawanan yang lain. Aku pun duduk di salah satu pendopo yang terbuat dari semen.

Di sana, iya di sana.
Aku duduk sembari melihat sekeliling. Suara jangkrik dan binatang hutan lain seakan-akan menjadi terapi penyembuhan pendengaran. Maklumlah, yang biasa kudengar di rumahku hanyalah suara kendaraan raksasa yang lalu-lalang tiada henti. Hmm ataupun cibiran orang-orang mengenai diriku atau orang lain. Itulah yang mengotori pikiranku setiap hari. Mataku mengikuti hembus angin. Tiba-tiba serangga kecil berjalan di dekat jemariku. Kupu-kupu kecil yang mungkin tak terlihat dari kejauhan. Kupu-kupu itu menutup sayapnya dan berjalan perlahan. Warna sayap dan tubuhnya abu-abu. Jelek sekali kupu-kupu ini, pikirku. Dia terus berjalan dan mataku pun terus mengikutinya berjalan. Sampai kira-kira satu menit, dia terbang. Aku terperangah. Dia mengepak-ngepakkan sayapnya yang berwarna biru, sangat indah. Cantik sekali. Bagian lain sayap yang tak terlihat di saat dia berjalan, ternyata sangatlah memukau diriku. Kupu-kupu itu terbang perlahan di dekatku seakan mengucapkan selamat tinggal lalu terbang menjauh.

Di sini, iya di sini.
Di sini aku berpikir. Menelaah. Aku ingin menjadi sepertinya. Seperti kupu-kupu kecil itu. Biarkan orang menilaiku jelek, buruk dan tidak berharga. Namun, hanya aku dan orang-orang tertentu saja yang mengetahui kecantikanku. Biarkan orang diluar sana menerima hasil kerjaku dan biarkan aku terlupakan oleh mereka. Namun, aku akan selalu terkenang di hati-Nya yang kucintai, di hati-Nya yang mencintaiku. Dan suatu saat nanti, ketika telah habis masa ini. Mereka akan tahu siapa aku sebenarnya. Siapa aku yang terlupakan. Siapa aku yang hasil kerjanya bermanfaat bagi semua orang. Namun saat ini, aku ingin menghilang dari pandangan orang-orang. Aku tak ingin dikenal siapapun. Aku hanya ingin menjadi yang terlupakan. Selalu menjadi yang terlupakan.